Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perbedaan antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan
kemudahan bagi umat Islam. Khazanah kekayaan syariat yang besar ini
adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya. Perbedaan fuqaha hanya terjadi
dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah
inti, dasar dan akidah.
Tak pernah kita dengar dalam sejarah Islam, perbedaan fiqh antara
madzhab menyeret mereka kepada konflik bersenjata yang mengancam
kesatuan umat Islam. Sebab perbedaan mereka dalam masalah parsial yang
tidak membahayakan.
Perbedaan dalam masalah akidah sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya.
Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman
manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum,
menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum.
Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena
syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan
terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap
harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan
manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.
Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (dhzan)
yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena
interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw
bersabda, ”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan
dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, ”
Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat jelas baik dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.
Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhzanni (lawan dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadlquru’ memiliki dua arti; haid dan suci
(Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau
anjuran. Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.
Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna
antara umum atau khusus adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam
agama” apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi
tentang hal sebenarnya?
2. Perbedaan Riwayat
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:
- Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
- Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
- Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
- Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
- Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.
3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.
4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
5. Ijtihad dengan Qiyas
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.
6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas,
atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau
dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh
penyifatan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi
fatwah.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas
mereka dengan balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya
merepresentasikan sebagai syariat Allah yang turun kepada Rasulullah
saw. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah
satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan
pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi
sama.
Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme
golongan), permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum
Muslimin yang disebut Al-Quran sebagai umat bersaudara, yang juga
diperintah untuk berpegang teguh dengan tali Allah.
Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut
hukum Allah atau syariat Allah. Namun mereka menyebut, "Ini adalah
pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah jika salah maka ia berasal
dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya darinya (pendapat saya)
berlepas diri."
Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah saw, kepada para pasukannya baik dipimpin langsung atau tidak adalah, "
Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin
memberlakukan hukum Allah, maka jangan kalian terapkan mereka dengan
hukum Allah, namun berlakukan kepada mereka dengan hukummu, karena
engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam menerapkan hukum Allah
kepada mereka atau tidak, " (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)
Ini menegaskan tentang ketetapan ijtihad atau kesalahannya dalam masalah cabang fiqh.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
0 komentar:
Posting Komentar